Peradaban yang Unggul

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. ( Q.S. Ali Imron 3:110 )
Dua pendekatan untuk mendekati makna peradaban. Pertama: Peradaban dirujuk dari kata addaba, yang berarti memperbaiki dan meluruskan (ashlahahu wa qawwamahu). Secara termologis, menurut Muhammad Qutb memiliki makna seni membentuk orang secara konstan menuju kesempurnaan (fannu tasykilil insane tadrijiyyan ilal kamal). Sebagaimana sabda Nabi Saw: Addabani Raddi fa ahsana taadiidi (Tuhanku telah mendidikku dan Ia telah mendidikku dengan sebaik-baiknya) Kedua, secara semantic peradaban Islam berasal dari akar kata Al-hadharah al-islamiyah. Hadhara bermakna hadir dengan membawa pesan spiritual yang diekspresikan dalam format ideologi, politik, social, budaya dan dimensi kehidupan yang lain. Jadi tidak sekedar ada. Kebalikannya adalah badawah (nomaden), belum bisa mengungkap, mengklasifikasikan dan mengkomunikasikan isi hatinya dalam konsep yang baik. Dalam kamus Lisanul Arab, kata hadhara memiliki arti syahida (menyaksikan).Dari akar kata ini kemudian berkembang menjadi syahadat (menyaksikan Allah), dan syuhada alaa an nasi (sebagai saksi atas manusia) Ketiga, dengan jalan mengelaborasi sejarah kehidupan Rasulullah saw dalam mempraktekkan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan, mulai dari titik nol, tanpa adanya dukungan sampai sempurnanya ajaran, merupakan bentuk peradaban yang paling beradab. Peradaban manifestasi keyakinan Islam (tauhid) dalam setiap aspek kehidupan Muslim.Dengan perspektif inilah kita dapat menyaksikan bagaimana kelahiran peradaban Islam yang berawal dari “satu titik”, kemudian berkembang pesat, mempengaruhi gaya berfikir, wacana, prilaku dan akhlaq masyarakat dan mencapai puncaknya dengan Madinah sebagai pusatnya. Awalnya adalah kehadiran Rasulullah Saw, setelah menerima wahyu pertama kali ( al-Alaq:1-5), kemudian dari seorang diri itu menyebar ke rumah tangga beliau, dengan titik tekan keyakinan yang sama, tauhid.Tauhid, yang tercermin dalam surat al-Alaq mengagetkan bangsa Arab yang notabene gandrung terhadap kekuasaan, harta dan menghamba pada ajaran nenek moyang. Dalam surat al-Alaq mendeklarasikan bahwa Allah adalah sang pencipta, yang layak dimulyakan dan disembah, sedangkan manusia adalah mahluk yang hina, yang bahan dasarnya sama, tidak ada kekhususan antara keturunan raja dengan rakyat biasa yaitu segumpal darah.Maka berbekal dari wahyu ini cukup bagi Rasulullah untuk mengenal hakekat hidup. Siapa dirinya dan darimana asalnya. Dengan dakwah terus-menerus, Rasulullah akhirnya mendapatkan pengikut dan dapat mengalahkan peradaban sebelumnya yang materialis dan terbelakang.Peradaban Islam lebih menekankan pada manusia, bagaimana cara membangunnya terutama terutama dimensi esoteriknya, spiritual dan intelektual, dan bukan menekankan pada hal-hal yang bersifat fisik atau material. Karena itu, ketika syahadah telah dideklarasikan maka upaya-upaya selanjutnya, sebagaimana tercermin dalam surat-surat awal turunya Al-quran, sepenuhnya diupayakan untuk membangun integritas manusia, dari asfala safilin menjadi ahsanu taqwim. Itulah mengapa, jika ditelusuri secara seksama bagaimana wujud peninggalan wujud peninggalan peradaban Islam yang agung itu, dengan perpektif materialis, tetap tidak ditemukan apa-apa kecuali Masjid Nabawi di Madinah. Warisan peradaban Islam pada zaman itu tidak terdiri atas bangunan-bangunan mati, tetapi keberadaan manusia-manusia yang shaleh, seperti kehidupan para sahabat, yang malalui buah pikiran, akhlaq dan sejarahnya orang-orang yang hidup dizaman ini tetap mendapatkan pelajaran dan hikmah darinya. Sungguh sangat jauh berbeda dengan peradaban barat yang menonjolkan atau bahkan hanya menggunakan parameter material. Hebatnya teknologi, hebatnya ilmu kedokteran, hebatnya ilmu politik dan demokrasi, yang semua justru menghilangkan nilai-nilai dasar manusia. Kedamaian, persatuan, kebahagian, dan kesejahteraan justru tidak didapatkan karena semua nilai yang dipahami dan diperjuangkan bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Misalnya, lesbian minta dilegalkan, padahal, tertariknya antara laki dan perempuan adalah sesuatu yang asasi. Jika ada yang mengikuti lesbi justru dipertanyakan? Apakah kodratnya sebagai manusia yang normal sidah hilang. Nah, hamper semua peradaban sarat dengan nilai kebebasan dan materi yang tidak kuat pijakannya, mengapa sebagaian umat Islam gandrung dengan mereka ?.
€. Belajar Dari Orang Jepang
“Kenapa mereka tidak bepergian di muka bumi sehingga mereka mempunyai sanubari yang berfikir atau telinga yang mendengar. Sebenarnya buta itu bukanlah buta mata, tetapi buta sanubari yang ada dalam dada”.(al-Hajj 46).
Ayat di atas meminta ummat Islam untuk melakukan perjalanan di muka bumi, baik tanpa kendaraan, maupun dengan kendaraan berbagai jenis. Dari dahulu sampai sekarang, ummat manusia dari waktu ke waktu selalu melakukan perjalanan, baik wisata, bisnis diplomatik, studi atau lain-lain, tetapi tidak banyak yang memahami bahwa perjalanan termasuk perintah agama agar manusia belajar dari pengalaman orang lain, tetapi tidak banyak yang memahami bahwa perjalanan termasuk perintah agama agar manusia belajar dari pengalaman orang lain.
Al-Qur’an meminta ummat manusia untuk menggunakan pikiran dan pendengaran serta semua alat persepsi dalam perjalanan. Perjalanan dilakukan dengan berbagai tujuan, tetapi tujuan untuk belajar dari apa yang dialami dalam perjalanan tidak boleh dilupakan. Dalam hal ini, seperti dinyatakan dalam pepatah Melayu, “alam terkembang jadi guru”. Apa yang kita lihat, kita dengar dan kita rasakan dalam suatu perjalanan berisikan pelajaran yang berharga.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari suatu perjalanan. Misalnya adalah kebiasaan dan cara hidup negeri yang kita kunjungi. Dalam ungkapan leluhur bangsa Indonesia dikatakan bahwa “lain lubuk, lain ikan, lain padang, lain hilalang”. Memang manusia, dimanapun berada, berpikir dan merasa, tetapi karena lain “lubuk” dan “padang”, maka terdapat perbedaan-perbedaan, terutama dari segi tradisi dan cara hidup, antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Justru industri parawisata menjadi berkembang karena adanya perbedaan-perbedaan ini. Seorang turis mengunjungi suatu obyek wisata, karena obyek tersebut memang lain dari apa yang sering ia temukan di negerinya sendiri. Itu dalam hal wisata biasa, dan dalam wisata ilmiah, perbedaan-perbedaan itu melahirkan teori-teori baru ilmu pengetahuan.
Ambil contoh, jika kita melakukan perjalanan ke jepang. Bila kita menggunakan pikiran dan pendengaran, maka hal pertama yang kita lihat sewaktu keluar dari bandara setempat adalah sebuah peradaban yang maju. Dimana-mana kita akan melihat keteraturan, ketepatan waktu, kebersihan, semangat kerja yang tinggi dan lain-lain yang menjadi lambang sebuah peradaban modern.
Orang Jepang pada umumnya tidak paham bahasa Inggris. Mereka mungkin tidak begitu memerlukan bahasa ini karena segala informasi yang mereka butuhkan sudah tersedia dalam bahasa Jepang. Mungkin juga mereka tidak ingin orang asing tahu lebih banyak tentang rahasia mereka sehingga akan mudah ditaklukan oleh bangsa lain. Apa lagi bahasa Jepang yang menggunakan tulisan kanji mempunyai berubu-ribu huruf yang berbeda-beda sehingga tidak mudah bagi orang asing untuk menguasainya. Sungguhpun demikian, karena segala sesuatu sudah tertata rapih, orang asing yang menggunakan otak dan pendengarannya di negeri itu tidak akan mudah tersesat. Banyak kemudahan yang disediakan untuk orang asing berupa buku panduan, peta, rambu-rambu jalan dan lain-lain yang dapat menuntun pengunjung untuk sampai ke tempat tujuannya.
Kesan kedua, negeri ini maju, westernized, tetapi tidak seperti Negara-negara maju di Eropa Barat dan Amerika Utara. Sesuatu yang khas Jepang masih terlihat dengan jelas. Misalnya dalam cara menghormat, keramahtamahan terhadap tamu, kesopanan umum dan lain-lain.
Orang Jepang menghormat dengan membungkukkan badan yang dilakukan berulang-ulang tergantung dari response yang diberikan oleh yang diberi hormat. Selama orang yang diberi hormat masih mengulang-ulangi membungkukkan badan, selama itu pula sang pemberi hormat akan tetap membungkuk dan membungkuk. Barangkali kebiasaan seperti ini bagi orang barat pada umumnya dipandang wasting time (membuang waktu), tetapi bagi kebanyakn orang Jepang adalah sesuatu yang harus dipelihara.
Mungkin di antara kita ada yang menilai bahwa ini semacam penyembahan kepada seseorang, sedangkan penyembahan hanya dapat diberikan kepada Allah. Boleh jadi kebiasaan menghormat dengan membungkukkan badan ini dulunya merupakan bagian dari acara agama, tetapi sekarang kebiasaan tersebut tidak lagi ada hubungannya dengan agama. Ini juga berlaku untuk acara “minum the” yang dulunya merupakan upacara agama dari negeri Tiongkok, tetapi sekarang masih dipelihara sebagai tradisi untuk menghormati orang lain dan menyehatkan badan.
Kesan ketiga, berbagai kata penghormatan diguanakan dalam pembicaraan sehari-hari. Seperti dalam semua bahasa, ada kata-kata biasa dan ada kata-kata sopan. Orang Jepang pada umumnya memilih ungkapan-ungkapan sopan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kata terima kasih (arighatoguzaimasta) dan silahkan (dozo) sangat sering terdengar di tempat-tempat umum. Orang merasa perlu berterima kasih bahkan untuk hal yang kecil-kecil.
Orang merasa bangga bila ia bisa mempersilakan orang lain, suatu hal yang sulit ditemukan di Negeri kita. Misalnya, bila kita berpapasan sewaktu naik atau turun kendaraan umum, maka salah seorang akan mempersilakan yang lain untuk naik atau turun terlebih dahulu, dan orang yang didahulukan dengan serta merta akan mengucapkan arigatoguzaimasta disertai dengan membungkukkan badan. Kebiasaan memdahulukan orang lain ini juga terlihat di jalan-jalan tol. Mobil-mobil yang kelihatan ingin mendahului akan langsung diberi kesempatan oleh mobil-mobil yang di depan, dan setelah mendahului, pengendaranya akan mengucapkan terima kasih melalui lampu sign atau dengan klatson kecil.
Memperhatikan kebiasaan di negeri kita di mana jalan raya sudah seperti balantara dan ucapan terima kasih sudah semakin jarang kita dengar di tempat-tempat umum, rasanya tata karma Jepang perlu menjadi menjadi pelajaran bagi kita bangsa Indonesia. Seorang guru besar belanda yang berkunjung ke Jakarta pernah mengatakan bahwa lalu lintas sebuah Negara adalah cerminan dari tertib hukum di Negara tersebut. Orang Belanda itu benar. Sumpah serapah dan pelanggaran yang kita lakukan di jalan raya adalah cermin dari sumpah serapah dan pelanggaran kita dalam bidang hukum. Selama kita belum bisa bersopan santun di jalan raya dan menegakkan hukum lalu lintas, jangan diharap kita akan bisa bersopan santun dan mematuhi aturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Orang Jepang pada umumnya tercatat sebagai pengikut agama Budha, tetapi mereka sebenarnya tidak lagi mendalami agama ini atau berprilaku seperti yang diminta oleh agama. Ini persis seperti orang Eropa yang sering dikatakan sebagai pengikut agama Kristen. Walaupun rata-rata sepi pengunjung, gereja-gereja tetap megah dan hari-hari agama seperti Christmas dan Thyankgiving masih tetap diperingati, tetapi tidak lagi sebagai upacara agama yang sakral. Baik bagi orang Jepang, maupun orang Eropa, perayaan-perayaan keagamaan tersebut hanya bermakna sekular semata untuk mempererat hubungan antara sesama manusia dan kesempatan untuk berlibur. Bahkan orang Jepang yang resmi beragama Budha pun sering melakukan perkawinan di gereja dan dalam waktu yang sama juga rajin ke kuil Shinto pada hari-hari keagamaan. Prilaku seperti ini menurut penuturan beberapa orang intelektual Jepang, tidak lebih dari trend yang berkembang dan tidak lagi bermakna keagamaan.
Kesan selanjutnya adalah tentang kebiasaan memberi hadiah atau souvenir kepada orang lain dalam waktu-waktu tertentu. Intinya adalah untuk memupuk perasaan untuk memperhatikan orang lain dan membangun tradisi suka memberi. Seorang professor Amerika Serikat di sebuah Women University di Jepang bmengtatakan bahwa kunci keberhasilan di negeri Matahari terbit adalah dozo dan domo, yaitu kebiasaan mempersilakan orang lain dan kebiasaan memberi.
Bila kita renungkan lebih dalam, semua yang positif itu tidak lain dari ajaran Islam hanif yang berasal dari al-Quran yang diwahyukan Allah kepada kita dan dari tuntunan yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw.
Saya teringat dengan ucapan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh sewaktu mereka menerbitkan majalah al-Urwat al-Wustha lebih seabad yang lalu di paris bahwa “Islam tertutup oleh ummat Islam sendiri”(al-Islam mahjubun bi al-muslimin). Selama berada do Eropa, beliau-beliau itu melihat praktek Islam seperti kebersihan, keteraturan, semangat kerja yang tinggi, ketepatan waktu, optimisme dan lain-lain, tetapi mereka tidak melihat orang Eropa yang beragama Islam. Kesimpulan yang diambil oleh kedua orang tokoh ini, ummat Islam terbelakang karena tidak menerapkan ajaran Islam secara utuh. Hal yang sama juga ditegaskan oleh tokoh terkenal Syakib Arselan dalam buku beliau “Lima dza ta’akhkhara al-muslimin wa lima dza taqaddama ghayruhum” (Kenapa orang Islam terbelakang dan Kenapa Ummat selain mereka maju). Ummat hanya tertarik dengan dzikir, do’a dan ibadah formal, tetapi tidak tergerak secara sungguh-sungguh menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban maju.
Almarhum bapak Muhammad Natsir di akhir tahun enampuluhan, sewaktu kembali dari jepang setelah keluar dari tahanan Orde Lama, pernah berpesan untuk mencontoh orang Jepang dalam menerima peradaban Barat. Beliau meminta bangsa Indonesia untuk mengambil segala yang baik dari peradaban Barat atau Timur, selama itu baik untuk pembangunan sendiri dan tidak bertentangan dengan cara hidup dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Semoga pesan itu menjadi amal saleh bagi beliau. Amin!
€. Haji dan Pembangunan Peradaban
“Kewajiban manusia yang menjadi hak Allah adalah haji ke Baitullah bagi orang yang mampu melakukannya”. (Al-Imron 97).
Haji ke Baitullah bagi orang yang mampu adalah salah satu rukun Islam kelima setelah syahadat, puasa, shalat dan zakat. Para fuqaha’ telah menguraikan tentang pengertian kemampuan yang dimaksud. Secara umum calon haji harus mempunyai kemampuan ekonomi untuk membiayai perjalanan haji serta kebutuhan selama di tanah suci dan kemampuan ekonomi untuk membiayai keluarga yang berada di bawah tanggungannya seperti isteri, anak dan orang tua yang ditinggalkan di Negerinya. Tidak termasuk kemampuan bahwa seseorang menjual semua harta bendanya atau sebagian besarnya, kemudian setelah pulang dari haji ia jatuh miskin. Termasuk juga kemampuan adalah kesehatan fisik dan mental, keamanan di perjalanan serta anak keluarga yang ditinggalkan dan hambatan-hambatan lain yang membuat calon haji tidak berdaya untuk mengatasinya.
Jadi sebenarnya rukun kelima ini hanya berlaku untuk orang yang mempunyai kemampuan ekonomi memadai, kesehatan prima lahir batin dan keamanan.
Itu tidak berarti bahwa orang yang lemah dalam ekonomi dan tidak sehat tidak perlu untuk pergi naik haji. Hambatan ekonomi dan kesehatan bersifat temporer. Kaya dan miskin, sehat dan sakit, keadaan aman dan kacau, datang silih berganti. Hari ini seseorang mungkin miskin dan tidak sehat tetapi di hari yang lain karena usaha dan doanya, mungkin ia menjadi kaya dan sehat bugar. Begitu juga mengenai keamanan. Hari ini dunia mungkin dalam keadaan perang atau kacau, tetapi keadaan aman biasanya lebih lama dari keadaan perang atau kacau. Semuanya ada di tangan Allah. Karena itu, setiap mu’min muslim seharusnya memasang niat agar pada suatu hari nanti bisa menunaikan ibadah haji. Apalagi ibadah yang satu ini merupakan panggilan Allah melalui nabi Ibrahim dan nabi-nabi yang di utus oleh Allah. Panggilan makhluk saja dipenuhi oleh manusia, apalagi panggilan Allah Maha Pencipta.
“Beritahulah manusia untuk melaksanakan haji, mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan menggunakan segala kendaraan yang datang dari segala pelosok yang jauh, supaya mereka dapat menyaksikan manfaat-manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezki yang diberikan kepada mereka berupa binatang ternak. Makanlah dari ternak-ternak (yang disembelih) itu dan beri makanlah fakir miskin. Selanjutnya hendaklah mereka menyempurnakan ibadah mereka, membayar nazar dan melakukan thawaf di rumah (Allah) bersejarah panjang itu” (al_Hajj 27-29).
Dengan adanya panggilan haji, sebenarnya Allah Yang Maha Tahu menginginkan hamba-hamba-Nya menjadi orang yang berkemampuan dalam bidang ekonomi dan kuat lahir batin. Kekuatan ekonomi, lahiriah dan batiniah berhubungan dengan kehendak Allah yang telah menjadikan manusia sebagai penerus (Khalifah) untuk memakmurkan bumi. Khalifah adalah pengganti Allah dalam memakmurkan bumi, mensejahterakan penghuninya, melaksanakan segala suruhan-nya dan menghentikan segala larangan-Nya. Orang yang lemah fisik, jiwa dan ekonomi tidak mungkin diandalkan untuk melakukan perubahan di bumi ke arah yang lebih baik seperti dikehendaki oleh Allah. Ibadah haji, begitu juga ibadah zakat, berhubungan dengan kemantapan ekonomi, kekuatan fisik, ketajaman pikiran dan kesehatan jiwa.
Hidup ini dari dahulu kala dan insya Allah sampai ke akhir zaman nanti penuh dengan tantangan dan rintangan. Karena itu hanya orang yang kuat dalam bidang ekonomi, fisik, dan mental saja yang akan keluar sebagai khalifah yang berhasil. Kuat dalam ketiga bidang ini adalah simbol kekuatan dalam bidang agama. Yaitu kekuatan yang dapat mengungguli semua peradaban dan semua agama yang berdasarkan kebatilan. Kekuatan seperti inilah secara global yang tidak dimiliki oleh ummat Islam pada waktu ini. Kita lemah dalam segala bidang, dalam ekonomi, pertahanan, ilmu serta teknologi, dan bahkan dalam bidang agama. Padahal Allah swt dengan tegas menyatakan:
“Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama kebenaran supaya Dia dapat memenangkannya atas semua agama, walaupun tidak disenangi oleh orang-orang musyrik”(ash-Shaf 9).
Dalam surah al-Hajj di atas dinyatakan bahwa haji antara lain adalah untuk menyaksikan manfaat-manfaat dan menyebut nama Allah atas rezki yang diberikannya kepada orang beriman. Manfaat-manfaat yang dimaksud menurut para mufassir adalah manfaat-manfaat dunia dan akhirat.
Manfaat dunia secara khusus dapat berupa perdagangan, diplomasi, perjumpaan politik dan ilmu pengetahuan, forum ukhuwwah dan lain-lain. Manfaat keduniaan haji sampai sampai hari ini belum dimaksimalkan oleh ummat yang melaksanakan ibadah haji dan bangsa yang mewakili mereka. Malah ada negara Muslim yang membatasi kegiatan warga selama di tanah suci hanya untuk mencari manfaat-manfaat ukhrawi semata. Manfaat-manfaat dunia ini tentu saja bernilai di akhirat bila didasarkan atas keinginan untuk beribadah kepada-Nya, tetapi yang dimaksud di sini adalah bagaimana ummat Islam melalui haji dapat meningkatkan kualitas hidup duniawi dan kualitas hidup ukhrawinya sekaligus. Inilah makna terbesar yang disimbulkan oleh ibadah haji.
Manfaat akhirat yang diperoleh orang-orang haji tentu saja dari berbagai kegiatan bernilai ibadah khusus. Misalnya adalah shalat, dzikir dan I’tikaf di dua masjid Makkah dan Madinah, thawaf, sa’I, melempar jamarat, ziarah ke makam Nabi, menyembelih binatang korban dan berbagai rukun yang disyari’atkan selama masa haji, bila semua itu dilakukan dengan ikhlas dan niat beribadah kepada Allah swt.
Kedua bentuk manfaat itulah yang membuat haji seseorang menjadi mabrur atau diterima di sisi Allah. Mabrur di sini dapat berbentuk mabrur duniawi, atau mabrur ukhrawi. Balasannya adalah sorga sebagai tempat yang paling nikmat dalam kehidupan yang akan dating. Tidak mustahil dengan mabrur duniawi dan mabrur ukhrawi sekaligus, seorang haji mendapatkan sorga di dunia dan mendapat sorga di akhirat.
Sorga akhirat tidak dapat dibayangkan dengan persepsi manusia karena kehidupan akhirat sangat berbeda dengan kehidupan dunia. Ini berbeda dengan sorga dunia dalam kehidupan sekarang yang dapat dilihat dengan kasat mata, dirasakan dalam hati dan digambarkan dalam pikiran. Inilah yang selalu kita dengungkan sebagai masyarakat adil makmur yang mendapat keridhaan Allah swt atau menurut istilah al-Quran “negeri yang baik , bersama Tuhan yang Pengampun” (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Bila kita dalami lagi, maka haji yang mabrur sebenarnya membutuhkan kerja keras yang bersifat fisikal dan spitual. Misalnya dengan ONH yang melebihi 30 juta rupiah, sulit dibayangkan bahwa seorang buruh kasar atau pegawai kecil akan dapat melakukan ibadah haji. Dengan ONH setinggi itu, maka dapat dipastikan, hanya orang yang berhasil dalam usaha saja yang mempunyai kesempatan menunaikan ibadah haji. Secara tidak langsung, dengan panggilan haji, maka agama yang hanif sebenarnya menginginkan ummat beriman menjadi pengusaha yang berhasil, kaum professional yang andal, karyawan yang sejahtera, pegawai yang dapat memenuhi lebih dari kebutuhan hidupnya, petani yang sukses dan lain-lain. Orang yang berusaha keras, laki-laki dan perempuan, akan mendapatkan hasil usahanya.
“Kaum lelaki mendapatkan bagian dari usaha mereka dan kaum perempuan (juga) mendapat bagian dari usaha mereka. Mintalah karunia dari Allah !”(an-Nisa 32).
Kegagalan dapat terjadi kapan saja dan terhadap siapa saja, tetapi orang beriman menurut Nabi Muhammad saw tidak boleh kehilangan tongkat dua kali. Kegagalan sekali atau dua kali, seharusnya dijadikan pengalaman untuk mendapatkan keberhasilan yang lebih besar pada masa yang akan dating. Orang beriman tidak pernah berputus asa.